Thursday, March 25, 2004

Diary Seorang Waria Pengamen

Sabtu, 20 Maret 2004,

Dear Diary,
Hari ini seperti biasa aku jalan cari makan dengan bunyiin kecrekan sambil nyanyi2 seperlunya. kali ini berangkat dengan kostum celana jins cutbrai model terbaru dengan bordiran bunga di sisi, baju ketat merah lengan panjang, sepatu ber-hak tinggi, plus jilbab merah darah yang cocok dengan atasannya. hmmm ... seksi dan modis, tapi tetap sopan. aku sengaja pake jilbabnya yang model gaul, diikat kebelakang, biar dadaku kelihatan. Tuhan, ampunilah hamba-Mu ini, tapi aku ingin terlihat lebih seksi dari mereka.

Jam sudah menunjukkan jam 12 siang. perutku semakin lapar. tadi pagi aku sengaja tidak sarapan. takut seperti kemarin, aku sarapan, tapi ternyata uang yang aku dapat hari itu sama sekali tidak cukup, bahkan untuk satu kali makan, mungkin lagi sial aja kali yaa... Aku masuk ke satu rumah yang agak besar. ternyata itu adalah salon khusus perempuan. di depan ada tulisannya. pintu dan gordennya tertutup rapat, tapi aku yakin ada orang di dalam, wong .. tulisannya 'buka' kok ...

Aku mulai menyanyi ... tadinya cuma di depan garasinya .. soalnya pintu samping terbuka ..tapi sekilas kelihatan ada mbak yang berjalan menuju pintu depan.. 'ah .. mau kasi duitnya' lalu aku jalan ke arah pintu sambil tetap bernyanyi. 'klek' lalu si mbak yang tadi sudah berjalan kembali ke dalam. ada apa ini ? 'ckrek ..ckrek..' hei??! pintunya dikunci? padahal kan mereka lagi 'buka' bagaimana pelanggan bisa masuk, kalo pintu depannya dikunci seperti ini? hei .. mereka mengunci aku di luar ... kurang ajar ... sangat tidak sopan! 'ckrek...ckrek...ckrek...' aku menggoyangkan handel pintu lebih cepat lagi ... samar-samar terdengar suara beberapa wanita tertawa cekikikan. benar-benar kurang ajar mereka.... aku juga manusia tau?!! aku tidak akan pergi dari sini sebelum mereka membuka pintu! aku tidak berhak diperlakukan seperti ini...!! memang aku anjing?! najis?! teriakku dalam hati. aku kalap! aku marah!

setelah beberapa lama menggedor2 pintu, akhirnya pintu terbuka, dan salah satu dari mereka memberiku uang logam lima ratus rupiah. tapi aku terlanjur panas. aku dorong pintunya dan aku masuk ... di dalam ada sekitar 15 orang perempuan, pelanggan dan pegawai. aku mencoba mengendalikan diri dan mengatakan dengan baik2

'mbak, tolong kalo kalian tidak mau memberi .. jalan ke pintu .. buka pintunya dan bilang langsung ke saya dengan sopan, maaf tidak ada uang kecil. apa susahnya sih mbaak? itu lebih bermoral dari pada langsung mengunci pintu seperti tadi'

beberapa dari mereka terlihat kaget aku, seorang banci, berani masuk, dan menguliahi mereka, perempuan-perempuan tulen dan terhormat, tentang moral dan sopan santun. tapi kemudian mereka kembali bersikap tak acuh. seakan-akan aku bahkan tidak ada di sana. tetap mengikir, memijat, mengeringkan rambut. ah, aku dicuekkin. mengapa mereka tidak bisa menganggap aku ada? apa karena aku waria? padahal aku yakin, aku bisa melakukan apa yang dilakukan pegawai2 itu dengan lebih baik. aku memberanikan diri bertanya ...

'siapa tadi yang mengunci pintu?'

tidak ada yang menjawab. beberapa kali aku menanyakan pertanyaan yang sama, mereka tetap diam. tidak ada yang maju dan meminta maafku. tidak sopan! kasar sekali mereka! cuma karena mereka perempuan dan aku waria. beberapa dari mereka bahkan melihatku seperti melihat sampah. amarahku kembali meluap.

'baru begini aja udah sombong, aku bisa melakukan ini lebih baik dari kalian, aku masih begini karena belum punya modal, tau?' kataku gemas.

sambil berjalan mondar-mandir, entah berapa lama, aku muntahkan semua kekesalan dan kemarahanku. begitu saja. aku bahkan tidak ingat apa saja yang aku katakan. aku emosi. tiba-tiba kesadaranku kembali, tidak baik aku marah2 begini, lagi pula tidak ada gunanya, mereka akan tetap seperti ini. aku keluar. di beranda aku harus berdebat lagi dengan pak penjaga. hah, baru keluar. kenapa tidak dari tadi? laki-laki pengecut! umpatku dalam hati. aku tetap mengajukan pembelaanku, tidak sepantasnya mereka mengunciku seperti itu. orang2 berkumpul di pintu gerbang, melihatku seakan aku semacam tontonan gratis. huh!

Kami memang kaum minoritas, dan terkadang aku berpikir, pengakuan sederajat itu hanya impian. tidak mungkin kami mencapainya. tapi, tetap saja ... mereka tidak berhak memperlakukan kami seperti itu. kami sama-sama manusia. aku cari rejeki dengan cara yang halal, tidak jadi WTS-PSK, Tuhan saja tidak membedakan. mengapa mereka berani membedakan?

0 Comments:

Post a Comment

<< Home